Memandang sekelilingku.
AC kamar rusak, kayaknya freon yang bermasalah.
Masuk kamar mandi, lantainya dah licin dah kudu diganti.
Masuk dapur, hmm... laci2nya dah pada jebol.
Liat taman depan rumah, walah itu taneman dah pada ga bisa diatur.
Liat CunDun, kayaknya camilan dan susunya dah mulai abis.
Liat gambar makanan, kepikiran besok mau masak apa ya?
Liat brosur sekolah, abis ini dah mulai bayar biaya sekolah Cunda.
Liat brosur mobil, langsung kebayang kapan yaaa bisa nangkring di garasi rumah?
dan daftar tersebut diatas bila dilanjutkan masih amat sangat panjang.
Ironisnya, kata kunci dari semuanya adalah uang. Dana. Duit.
Aku yakin masih banyak beribu2, berjuta2, bermilyar2 orang disana yang berpikiran sama.
Ketika melihat di sekeliling begitu banyak yang berkaitan dengan uang.
Masih untung untuk makan besok aku belum sampai pada taraf khawatir bisa makan atau tidak.
Masih syukur bila tiba2 ada tagihan listrik dan telfon yang membengkak tinggi aku tidak bingung cari utangan.
Bahkan sekedar jalan2 ke-mall sesekali naik taksipun kami masih bisa.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak.
Lalu bagaimana mereka yang bahkan untuk sekedar makan yang layak siang ini masih harus bersimbah peluh?
Lalu bagaimana para ibu yang harus menolak keinginan anaknya untuk sekedar beli pensil yang mulai sulit dipakai?
Lalu bagaimana para bapak yang pulang kerumah dengan tangan hampa dimalam-malam dingin mendapati tunggakan SPP dan kontrakan rumah petak yang harus terbayar esok hari?
Berita di segala media massa tentang kisah "si papa" yang harus masuk penjara karena mencuri demi anaknya, kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak putus sekolah, sampai bunuh diri sekeluarga untuk menuju kedamaian semu tiba-tiba menjadi sangat jelas dalam gambaranku...
Read more »»